Tidak Bersuara

Tidak Bersuara
oleh Andika Hilman.

(TULISAN INI HARUS DIBACA SAMPAI AKHIR)

Seringkali, orang tua gue berpikir bahwa gue tidak cukup mampu untuk melakukan ini dan itu. Entah mengapa gue merasa seperti itu.

Gue merasa tidak dipercaya. Gue baik, tetapi ada masanya gue masih dianggap kurang. Seandainya gue sudah menunjukkan sebuah sikap/sifat A, baru gue bisa dipercaya.

Mungkin mereka hanya takut. Takut aku melakukan kesalahan, takut menyesal kalau melihat gue menjadi tidak baik, dan takut kehilangan gue. Merasa terlalu sayang dan terlalu merasa memiliki. Takut untuk merelakan bahwa kadang gue lebih dari sekedar anak kecil mereka.

Gue tidak mengutuk orang tua gue, tentunya. Setiap manusia pasti punya kekurangan, punya perbedaan pandangan, dan pernah melakukan kesalahan. Namun gue mengakui bahwa selama ini gue memang salah dalam menyikapi hal ini.

Mengapa?

Karena hal ini yang membuat gue menjadi seorang pembohong. Bukan ke orang tua gue, tetapi ke diri gue sendiri. Apa yang terucap dari mulut gue selalu gue besar-besarkan. Gue merasa harus terdengar lebih hebat dari kenyataan yang sebenarnya biasa-biasa saja.

Mengapa gue melakukan hal bodoh tersebut? Karena gue merasa gue belum diakui. Gue merasa gue harus diakui.

Gue selalu merasa tidak cukup baik bagi orang lain.

Gue pun menjadi sosok yang tidak percaya diri. Bahkan gue tidak pernah menceritakan perasaan ini ke siapapun selama bertahun-tahun.

Gue tidak bersuara.

Itu juga yang akhirnya membuat gue depresi, terutama ketika Tuhan memilihkan jalan yang tidak sesuai dengan ekspektasi gue. Gue merasa, "Seandainya Tuhan tidak membuat gue seperti ini, maka hidup gue bisa gue banggain."

Gue bukannya tidak bersyukur.

Gue hanya takut untuk tidak diakui.

Dan sekarang gue sadar bahwa perasaan itu adalah sesuatu yang tidak sehat. Semakin gue dewasa, gue sadar bahwa identitas gue tidak ditentukan oleh pengakuan oleh orang lain. Gue tahu gue siapa. 

Gue tahu gue hebat walaupun gue tidak akan memenuhi standar yang ditetapkan oleh orang tua gue.

Setelah gue sadar dengan hal itu, gue menjadi sosok yang lebih percaya diri. Gue menjadi lebih tenang menjalani hidup. Gue menjadi merasa lebih bebas. Bahkan gue merasa jadi lebih semangat untuk menggapai cita-cita setinggi langit.

Gue tahu cita-cita gue tinggi, walaupun letaknya di langit yang berbeda dengan langit yang dilihat orang tua gue.

Mengapa gue berani bicara seperti ini? Karena seseorang pernah berkata:
"Jika kita bersuara tentang hal-hal yang baik, dengan tulus dan ikhlas serta bermanfaat, maka bersuara adalah emas."

Gue memang seharusnya menyuarakan hal baik ini.

Seharusnya gue pun bangga dan cinta dengan diri gue sendiri, karena gue tahu, jauh di lubuk hati orang tua gue....

...Mereka pun bangga dan cinta dengan gue apa adanya.

Comments